Gusti Muhammad Ramli (Wali Katum)
Nama “Wali Katum” sudah tidak asing lagi bagi warga asli Kota Banjarmasin khususnya, dan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya.
Nama beliau
sebenarnya adalah Muhammad Ramli bin Anang Katutut, di masa kecil beliau bernama
Artum Ali, beliau hidup apa adanya tanpa berusaha (bekerja), hari-hari
beliau habiskan hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Apabila
ada makanan beliau makan, tapi kalau tidak ada beliau akan puasa. Meskipun
demikian beliau tidak pernah mengeluh, minta-minta dan menyusahkan orang lain.
Beliau
selalu menutup diri dari orang lain dan suka menyendiri, sehingga tidak banyak
aktivitas beliau yang terekspos. Karena itulah di masyarakat beliau lebih
dikenal dengan sebutan “ Wali Katum”.
Kata Katum diambil dari bahasa Arab yang berarti sembunyi.
Diceritakan,
beliau kalau pergi selalu membawa Al-Qur’an apabila berhenti beliau akan
membacanya, hingga akhir hayat beliau. Al-Qur’an tersebut tidak lagi persegi
empat, melainkan berbentuk lonjong
karena sisi-sisinya sudah aus terkikis lantaran sering dibaca.
Menurut
penuturan Gusti Sulaiman bin Gusti H. Hasan (‘Guru Tuha’ kawan dekat dari Tuan
Guru Abdussamad Kampung Melayu Sungai Bilu, Banjarmasin, sewaktu selama 7 tahun
menuntut ilmu di Mekah), bahwa :
Gusti H.Hasan adalah kakak dari Gusti Anang Katutut yang adalah ayah dari Muhammad
Ramli (“Wali Katum”).
Dengan
demikian maka, Gusti Sulaiman bin Gusti H. Hasan adalah memiliki hubungan
keluarga sebagai sepupu sekali dengan” Wali Katum” atau Gusti Muhammad Ramli
bin Gusti Anang Katutut.
Selanjutnya, menurut Gusti Sulaiman bin Gusti H. Hasan,
yang kini berusia 95 tahun di Banyiur Dalam, Basirih Banjarmasin, ada beberapa
keganjilan (khawariqul 'adat) dari “Wali Katum”, begitu pula dengan bapaknya
Gusti Anang Katutut.
Diriwayatkan
pernah suatu hari serombongan orang bermobil datang untuk mengundang dan menjemput
Gusti Anang Katutut (ayah Wali Katum), namun beliau tidak mau naik mobil dan mempersilahkan
tamu yang menjemputnya lebih dahulu pulang. Sedangkan beliau mengeluarkan
sebuah sepeda butut yang tempat duduknya hanya dililitkan kain supaya bisa
duduk di atas sepeda butut tersebut.
Namun
Alangkah terkejutnya rombongan yang ingin mengundang beliau, ternyata ayah Wali
Katum sudah tiba lebih dahulu dan sedang menyandarkan sepeda bututnya di depan
rumah yang ingin mengundang tersebut, padahal sewaktu berangkat tadi rombongan
yang mengundang lebih dahulu dan cepat karena menggunakan mobil.
Selanjutnya diriwayatkan pula
oleh Gusti Sulaiman bin Gusti H. Hasan, bahwa tempo dahulu pada musim haji,
seseorang jama’ah haji dari Hulu Sungai melihat seorang pria di mekah yang
berjalan beriringan, namun sambil berinting-inting atau jalan
berjingkat-jingkat tanpa terompah (maklum zaman dulu tidak ada sandal jepit).
Lalu jama’ah haji tersebut bertanya pada pria yang berjingkat, apakah sedang
kepanasan kaki berjalan di padang pasir, namun pria itu menjawab :” Tidak”.
Kemudian ditanyakan siapa namanya dan tinggal dimana, Pria misterius itu menyebutkan
namanya Muhammad Ramli dan alamatnya di Tebu Darat, Hulu Sungai Tengah.
Karena merasa kasihan oleh jama,ah haji itu ketika melewati pasar
dibelikanlah “Sepasang Terompah”, namun setelah menerima terompah tersebut,
pria berjingkat-jingkat tadi menghilang begitu saja.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji dan pulang ke kampung halaman,
Sang jama’ah haji tadi teringat dan ingin pergi menemui Muhammad Ramli, di Tebu
Darat. Tapi menurut penduduk kampung Tebu Darat, bahwa tidak ada warganya yang naik
haji tahun ini. Tapi kalau orang yang bernama Muhammad Ramli memang ada, tapi
tidak pergi haji, namun hanya berkhalwat di gubuk persawahan.
Merasa penasaran sang jama’ah haji itu lalu minta bawakan ke Gubuk Muhammad
Ramli tersebut. Dan ternyata memang beliau lah yang bertemu dengannya di Mekah,
sedangkan “Sepasang Terompah” terlihat ada digantungkan di dinding rumah /
Gubuk Muhammad Ramli.
Sejak saat itulah masyarakat baru
mengetahui, bahwa Muhammad Ramli adalah seorang Wali Allah SWT, sehingga beliau
diberi gelar “Wali Katum” atau wali yang tersembunyi.
Gusti Muhammad Ramli atau (“Wali
Katum”) wafat tanggal 24 Juni 1982 M bertepatan dengan tanggal 29 Sya'ban 1402
H pada usia sekitar 70 tahun.
Makam “Wali
Katum” terletak di desa Tabu Darat kecamatan Labuan Amas Selatan kabupaten Hulu
Sungai Tengah Kalimantan Selatan.
Makam keramat “Wali Katum” juga menarik ,karena selalu mendapat kunjungan ziarah dari masyarakat Kalimantan Selatan dan juga wisatawan peziarah lainnya.
K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari
Tuan Guru Al 'Arifbillah Syekh KH. Muhammad Saman Al-Banjari Pengamanah mutlak Ilmu Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul penulis kitab
"Awwaluddin" lahir di Astambul Martapura Kalimantan Selatan, pada
tanggal 11 Maret 1919 dari seorang Ayah bernama Gusti Muhammad Saleh Bin Tuan
Guru Matasin Bin Tuan Guru Muhammad Ali Binti Syafiah Binti Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari dan seorang Ibu bernama Antung Sawiyah Bin Gusti Gantung Bin
Pangeran Syaidullah.
Maka
mulai pada tahun 1960 ini ditambah satu mata pelajaran yaitu mengenal Dzat Allah
Rabbul Jalil dan Ilmu ini dinamakan"Awwaluddin Ma'rifatullah Wa
Ma'rifatur Rasul" hingga
sampai sekarang ini.
Tuan Guru Al 'Arifbillah Syekh K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari telah berpulang ke Rahmatullah pada jam 22.00 wita, malam Selasa 21 Ramadhan 1434H atau tanggal 30 Juli 2013M. Beliau wafat diusia 94 Tahun,di Kota Samarinda.
Dia adalah anak bungsu
dari lima bersaudara yaitu: 1). Antung
Jainur, 2). Gusti Mahrus, 3). Gusti Masran, 4). Gusti Salman dan 5). Gusti Masnun (Nama beliau diwaktu
kecil). Kehidupan beliau diwaktu
kecil berjalan lancar penuh kedamaian di bawah asuhan kedua orang tua beliau. Ketika berusia tujuh tahun ibu yang
sangat ia cintai yang selama ini menjadi tempat mengadu dan bermanja dipanggil
kehadirat Allah Rabbul Jalil. Maka
selanjutnya ia diasuh oleh neneknya sampai usia 13tahun. Kemudian nenek kembali pula
kehadirat-Nya. Selanjutnya diasuh
oleh Paman beliau sampai dengan dewasa.
Pada
tahun 1944 di jaman penjajah Jepang menjadi laskar Jepang, Heiho. Sampai dengan tahun 1945 sebelum
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, bersama kawan-kawan
melarikan diri dari Heiho setelah membunuh tujuh orang Jepang. Bersama dengan teman pada tahun 1947
bergabung dengan pasukan revolusi mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut
kembali oleh penjajah Kolonial Belanda.Pada tahun 1950 menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI) dengan pangkat Sersan Mayor Batalyon 602 Kompi IV Lambung
Mangkurat sebagai Komandan Pleton II, dan kemudian berhenti pada tahun 1953
dari Dinas Ketentaraan.
Ditahun 1950 ini pula
beliau memperoleh jodoh dan menikah dengan seorang wanita bernama Fatimah Binti
Abdul Muthalib di Tarakan. Dari
perkawinan ini melahirkan putra-putri sebanyak tujuh orang yaitu: 1). Norma, 2). Nosyehan, 3). Muhammad Syamsuri, 4). Muhammad Syamsiar, 5). Galuh Srikandi, 6). Rukiah, 7). Hendra Negara.
Antara tahun 1953 sampai dengan tahun 1956
setelah berhenti dari Dinas Ketentaraan hidup beliau tidak menentu, melakukan
berbagai macam pekerjaan untuk menghidupi keluarga (anak dan istri). Mencari penghidupan ke negeri tetangga
seperti ke Tawau, Sabah, Malaysia, bahkan sampai ke Filipina.
Kemudian atas kehendak
Allah Rabbul Jalil pada tahun 1956, ia memperoleh limpahan ilmu secara ” LADUNI” , melalui Datuk Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari. Pertama ilmu yang
diperoleh yaitu tujuh mata pelajaran pokok Ma'rifah yaitu:
1. Mengenal Diri, 2. Mematikan Diri Sebelum Mati, 3. Kesempurnaan La ilaaha illallah, 4. Dzikrullah, 5. Istinja 6. Junub, dan 7. Tanda-tanda Sakaratul maut. Sejak tahun 1957 ilmu yang diperoleh,
mulai diajarkan kepada orang-orang sekitar tempat tinggal di Tarakan, dari
rumah ke rumah seorang diri.
Kemudian
pada tahun 1960 dengan Rahmat dan Ridho Allah beliau kembali secara Laduni
diperkenalkan pada Dzat-Nya yang bersifat Laisa Kamisylihi syai'un secara
langsung tanpa melalui mahluk.
Dalam perkembangannya
dari tahun ke tahun sampailah ia kenegeri tetangga Malaysia untuk mengajarkan ilmu yang ada pada
diri beliau khususnya Tawau, Kota Kinbalu, dan sekitarnya di Sabah, bahkan
sampai ke Brunai Darussalam sehingga sampai dengan sekarang ini murid-murid
beliau ribuan jumlahnya. Selama
kurun waktu 1980 sampai 1990-an ia bolak balik Tarakan-Samarinda untuk
mengunjungi putra beliau yang berdomisili menetap di Samarinda, kesempatan ini
ia gunakan untuk mengajarkan ilmu Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul kepada
orang-orang muslim yang ikhlas mau belajar kepada beliau, sehingga lambat laun di
Samarinda pun mulai banyak pula murid-murid beliau.
Pada
tahun 1995 beberapa murid yang menyadari perlunya sebuah organisasi untuk
melaksanakan pengajian, berkumpul dan bersepakat membentuk Majelis Ta'lim
Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul Cabang Samarinda.Sedangkan pusatnya di
Tarakan. Sejak tahun 1997 dia
menetap di Samarinda dan Pusat Majelis Ta'lim Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul
dipindahkan ke Samarinda.
Tuan Guru Al 'Arifbillah Syekh K.H.Muhammad Seman Bin Muhammad Saleh Al Banjari telah berpulang ke Rahmatullah pada jam 22.00 wita, malam Selasa 21 Ramadhan 1434H atau tanggal 30 Juli 2013M. Beliau wafat diusia 94 Tahun,di Kota Samarinda.
Syekh Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari (Tuan Guru Bangil)
Sebagai seorang ulama yang terkenal berasal dari kota “intan” Martapura, terutama bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) khususnya, adalah Tuan Guru Syekh H. Muhammad Syarwani Abdan. Bagi masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, itu akrab disebut sebagai “Tuan Guru Bangil”.
Tuan Guru Bangil yang bernama : H. Muhammad
Syarwani Abdan bin H.Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin
H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H.Muhammad Thahir bin
H. Syamsuddin bin Sa'idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti
kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan
tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Tuan Guru Bangil
merupakan keturunan ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al
-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang
bernama Sa'idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan
Bidur. Sa'idah memiliki saudara tiga orang, yakni 'Alimul' Allamah Qadhi
H. Abu Su'ud, 'Alimul' Allamah Qadhi H. Abu Na'im, dan 'Alimul' Allamah
Khalifah H. Syahabuddin.
Tuan Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan
dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai 'keluarga alim'. Ayahnya
bernama H.Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama
Hj. Mulik.
Tuan Guru Bangil memiliki 7 orang saudara
kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj.Intan,
Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad
Ayub Selain memiliki saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil
juga memiliki saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan HM.
Hasan.
Sejak kecil Tuan Guru Bangil sudah
dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut
ilmu, terutama ilmu agama. Dia dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun
dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru
beliau. Terlebih-lebih ia berasal dari dan dibesarkan di lingkungan
keluarga yang agamis dan kota "Serambi Mekkah", Martapura. Pendidikan
di dalam lingkungan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang diterima
oleh Tuan Guru Bangil.
Karena itu, di samping dididik dalam
lingkungan dan oleh keluarga, Tuan Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai
menimba ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura dan dari sejumlah ulama
besar yang hidup pada waktu itu, antara lain ; 'Alimul' Allamah Tuan Guru
H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, 'Alimul Fadhil Qadhi HM. Thaha, dan'
Alimul Fadhil H. Isma'il Khatib Dalam Pagar, Martapura. Dia juga
pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, menurut cerita yang
berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di
Martapura, Tuan Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah
asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu
tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil,
beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan
Pasuruan antara lain ; KH Muhdor, KH. Abu Hasan, KH. Bajuri dan KH. Ahmad
Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Tuan Guru
Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Dia
berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau 'Alimul' Allamah
H. Anang Sya'rani Arif di bawah pengawasan paman beliau 'Alimul' Allamah
H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang
bermukim di Mekkah.
Selama di Mekkah, Tuan Guru Bangil menuntut
berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah
kepada 'Alimul' Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan,
dan 'Alimul' Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.
Selain itu, Tuan Guru
Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh
Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah
Andagistani, Syekh Syafi'i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat
Bogori.
Selama di Mekkah, Tuan Guru Bangil dan
Guru Anang Sya'rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh
Muhammad Ali bin Husien al-Maliki. Selama mukim di Mekkah berbagai cabang
ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Tuan Guru Bangil. Banyak pula
silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima.
Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang
dikuasai oleh Tuan Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf
ini, Tuan Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari 'Alimul'
Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari 'Alimul' Allamah
H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Ijazah tarekat Idrisiyah
diterima dari 'Alimul' Allamah Syafi’i bin Shalih al-Qadiri.
Bahkan, dengan kesabaran dan ketekunan yang
tinggi mereka berdua (Tuan Guru Bangil dan Tuan Guru H. Anang Sya'rani
Arif) selama menuntut ilmu di Mekkah. Sehingga wajar jika kemudian dalam
beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat
julukan "Dua Mutiara dari Banjar". Bahkan mereka berdua mendapat
kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah)
atas bimbingan Syekh Sayyid Muhammad Amin kutbi.
Tidak mengherankan jika kemudian Tuan Guru
Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu ', dan khumul, hapal Alquran
serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat. Tuan Guru Bangil
juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari 'Alimul' Allamah Tuan Guru Syekh
Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan
menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Tuan Guru Bangil kemudian kembali ke
Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang
telah didapat untuk masyarakat luas.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk
mengajar, muthala'ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali
dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Tuan Guru Bangil pernah ditawari untuk
menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut ia tolak. Dia
lebih senang melayani secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar
Islam, di mana, muthala'ah, halaqah dakwah, ta'lim (mengajar), dan menulis
(menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5
tahun di Martapura, Tuan Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun
1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil
dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di
sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka
menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah
hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun
menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan
menjadi pedagang.
Dia juga tidak merasa kecil hati untuk
belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan
Pasuruan. Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu
tausiyahnya (agar tidak sombong) Tuan Guru Bangil juga pernah mengatakan dan
menyatakan, bahwa ia bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang,
ia hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika
belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.
Selama menuntut ilmu di Mekkah dijuluki
"mutiara dari Banjar", pernah mengajar di Masjidil Haram, namun
beliau tetap rendah hati dan sederhana. Sehingga di awal-awal berdiamnya beliau
di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa dia sebenarnya,
kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota
Pasuruan.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota
Bangil, Tuan Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas
kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang
merupakan ulama Sepuh pada waktu itu.
Selain muthala'ah dan membuka pengajian, Tuan
Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk 'kaji duduk' ilmu-ilmu agama
yang diberi nama Pondok Pesantren "Datuk Kalampayan" pada tahun
1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari
Kalimantan Selatan.
Pondok Pesantren tersebut langsung
ditangani sendiri oleh Tuan Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal
lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam kondisi
sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah,
dan muthala'ah.
Sehingga, banyak para santri beliau yang
kemudian menjadi orang alim ulama dan tersebar diberbagai daerah, baik di
Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan daerah lain-lainnya, untuk melanjutkan syiar
Islam. Salah satu di antara santri / murid beliau tersebut adalah: 'Alimul'
Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).
Tuan Guru Bangil dikenal sebagai murid
utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin
Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi
inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil
dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia
lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki
hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj.Bintang adalah anak paman beliau,
yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj.Bintang binti
H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di
antaranya: KH Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan
Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj.
Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti
Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau
mendapatkan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval,
Didi, Yuyun, dan Mahdi. Istri beliau yang ketiga adalah
Hj. Fauziah.Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, ia mendapatkan
beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris,
dan Busra. Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau
keseluruhan adalah 28 orang.
Keilmuan
dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap
pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota
Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan). Tuan
Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang akrab dipanggil Tuan Guru Bangil
dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu '.
Luas dan ketinggian ilmu beliau diakui,
sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk
pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil dan sekitarnya.
Menurut Ustadz Subki, Tuan Guru Bangil alim
dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu
agama. Ilmu-ilmu yang dia kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits,
ilmu hadits, ulumul Qur'an, tafsir, dan tasawuf. Dalam usia muda (di bawah
40 tahun) Tuan Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40
tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang
banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.
Dalam
bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai
dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga
dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh
adab. Dia tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan
atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan
konteksnya.
Dalam
bidang fikih Tuan Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman beliau dalam
bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya'rani
Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan
Guru H. Anang Sya'rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk
menanyakannya langsung kepada Tuan Guru Bangil. Tuan Guru Bangil pernah
memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.
Tuan Guru Bangil juga aktif menulis
berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan
keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau
yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah
masyarakat adalah Kitab/buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah.
Kitab/buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah
li Ahli al-Istiqamah atau (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan
Tawassul) adalah salah satu karya tulis Tuan Guru Bangil yang paling populer,
karena pembahasan yang ada di dalamnya tentang masalah talqin, tahlil, dan
tawassul. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah
dicetak dan diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit.
Buku
yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Tuan
Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil, karena adanya
pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif
dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap
mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan
pendapat di kalangan masyarakat.
Hal ini terlihat di dalam tulisan
beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut. "Akhirnya tidak
lupa penulis(Tuan Guru Bangil) menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda
dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu hal agama
itu, jangan anggap mudah atau disederhanakan, tapi hendaknya ditanyakan
langsung kepada yang benar-benar mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya
saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya beliau mengharapkan jangan
sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak
diinginkan ".
Menurut Tuan Guru Bangil sangat disayangkan
bila ada sementara orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka
menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan
untuk mengharamkan atau menghalalkan tentang sesuatu hal tanpa ditinjau secara
teliti dan menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu
sendiri. Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk
mayit serta tawassul.
Selanjutnya menurut beliau (Tuan Guru
Bangil), buku ini ditulis sekedar untuk menangkis serangan yang dilancarkan
tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa,
sehingga seolah-olah tampaknya para alim ulama kita yang terdahulu telah
memberikan jalan yang sesat kepada kita.
Setelah sekian banyak mencetak kader ulama
dan melayani dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan
masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989
M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Tuan Guru Bangil wafat dalam usia sekitar
74 tahun .
Al 'Alimmul Al' Allamah Al Arif
Billah Syekh Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari (Tuan Guru Bangil) kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari
para habaib bermarga al-Haddad, dekat dengan makam Habib Muhammad bin Ja'far
al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok
pesantren yang ia bangun. Makam Tuan Guru Bangil sering diziarahi oleh
masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, terutama Kalimantan
Selatan.